Daftar Blog Saya

Followers

PRIBADIKU

Foto saya
Semarang, Semarang, Indonesia
JANGANLAH MENUTUP-NUTUPI SUATU KEBENARAN APA BILA ITU ADA DI AGAM AKLIAN, DAN JANGAN PERNAH MALU UNTUK MENGIKUTI KEBENARAN WALAU JIWA RAGA KITA TARUHANYA. "HIDUP MILIA (MENGIKUTI KEBENARAN) ATAU MATI DENGAN SYAHID"
Misbah. Diberdayakan oleh Blogger.

CATATAN

“Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya. Jika ia tidak mampu maka dengan lisannya. Dan kalau juga tidak mampu maka dengan hatinya. Dan itulah selemah-lemahnya iman”.(hadis Rasulullah Saww)

Kamis, 13 Januari 2011

PENGAKUAN SEORANG PROFESOR SAUDI ATAS AJARAN WAHABISME.

Salah seorang guru besar dan intelektual Saudi Arabia yang benama Prof. Khalid ad-Dakhil dalam sebuah penelitian yang menggunakan keturunan keluarga Saudi dan ideologi Wahabisme sebagai obyek penelitiannya untuk menetapkan bahwa kekuasaan tanpa batas waktu dan yang berjalan secara turun temurun dari keluarga Saud itu pada awalnya memiliki tujuan politis, memisahkan diri dari kekhalifahan Usmani yang Ahlusunah.

Profesor yang lahir dan dibesarkan di Saudi Arabia itu menyatakan bahwa para mufti Wahaby-lah yang memiliki peran penting dan utama dalam mengontrol segala sesuatunya, termasuk berkaitan dengan penentuan kebijakan negara. Dengan dipengaruhi pemikiran dan ajaran Muhammad bin Abdul Wahab (pendiri Wahabisme) yang hidup pada abad ke-18, wahabisme terbentuk. Itulah yang menjadi penyebab terwujudnya ekstrimisme dalam tubuh Islam. Banyak hal yang telah diharamkan oleh mereka, hingga pelaksanaan shalat berjamaah pun diterapkan secara paksa oleh para ulama Wahabi terhadap setiap anggota masyarakat.

Sang profesor yang dibesarkan di kalangan masyarakat Wahabi tadi akhirnya bertanya-tanya, dari manakah gerangan asal-usulnya sehingga Wahabisme bisa menjadi ideologi negara itu dan dari mana para ulama tadi mendapat pengaruh begitu besar semacam itu?

Setelah menyelesaikan penelitian desertasi doktoralnya, iapun akhirnya telah mendapat jawaban dari teka-teki pertanyaan-pertayaan tersebut. Secara terperinci ia menjelaskan bahwa ulama-ulama tadi mendapat pengaruh dari Muhammad bin Abdul Wahab, pendiri sekte Wahaby. Muhammad bin Abdul Wahab seorang rohaniawan garis keras yang telah memperoleh pengaruh besar hasil dukungan pendiri kerajaan keluarga Saudi kala itu (Muhammad bin Saud), di permulaan berdirinya dinasti tersebut. Persatuan antara keluarga penguasa dengan keluarga rohaniawan itu berkelanjutan hingga kini. Dari situ akhirnya Wahabisme -yang menolak keyakinan ajaran lain- mendapat kepercayaan untuk menyebarkan ajaran Islam yang menyimpang tadi di berbagai sekolah-sekolah dan masjid-masjid yang berada di wilayah Saudi Arabia. Hingga sekarang, penguasa keluarga Saud telah menghadiahkan otoritas pengurusan tempat-tempat suci dan bersejarah kepada para rohaniawan Wahaby tersebut.

Prof ad-Dakhil menunjukkan pendapat barunya tentang posisi resmi tentang gerakan wahabisme yang berakhir pada melemahnya kekuatan para rohaniawan tadi. Beliau berpendapat bahwa Muhammad bin Abdul Wahab dalam hal politik pun ia sangat getol sebagaimana kegetolannya dalam menyebarkan ajaran wahabismenya. Melalui sarana pertentangan mazhab yang bertujuan politis itulah ia memanfaatkannya untuk membentuk sebuah negara di pusat wilayah Arab yang terbentuk dari berbagai keamiran kecil yang saat itu dikuasai oleh kekhilafahan daulah Usmani.

Segala usaha Prof ad-Dakhil akhirnya menghasilkan beberapa artikel yang ditulis pada bulan November dan Disember. Ini merupakan jerih payah seorang ilmuwan Saudi dalam meneliti kembali sisi-sisi keagamaan negaranya yang mendasari terbentuknya kerajaan Saudi Arabia.

Dengan melihat berbagai standart yang dimiliki oleh kaum muslimin (Ahlusunah) pada saat awal berdirinya kerajaan Saudi, Muhammad bin Abdul Wahab telah menafsirkan sendiri ajaran Islam secara radikal (ekstrim) terkhusus dalam masalah Jihad. Jihad diartikan sebagai peperangan sakral dan yang lantas ia gunakan sebagai alat untuk membentuk negara klan Saudi yang berserikat. Dan masyarakat pun dipaksa untuk menyetujui ide politisnya yang dibalut dalil-dalil teks agama yang ditafsirkan secara serampangan.

Muhammad bin Abdul Wahab menghukum orang-orang yang tidak sepaham dan tidak menyetujui penafsirannya. Bahkan ia menganggap dan menvonis para amir (pemimpin) -sebuah daerah yang ditunjuk oleh Daulah Usmani- yang tidak menyetujui pola pikirnya sebagai pengkhianat. Pemahaman-pemahaman semacamlah ini yang akhirnya dimanfaatkan oleh keluarga Saud untuk menyusun sebuah doktrin baru, guna membentuk kerajaan Saudi di dataran Arab. Semua doktrin Wahabisme tersebut selalu dipakai untuk mendampingi dan menyokong keluarga kerajaan Saudi. Akan tetapi, pada saat kemunculan kelompok-kelompok bersenjata seperti al-Qaedah di dataran Arab Saudi yang juga memiliki background Wahabisme maka pihak kerajaan pun akhirnya menganggapnya sebagai sebuah bentuk pengkhianatan dan menyatakan bahwa kelompok tersebut harus diperangi dan dibasmi.

Walaupun semenjak tahun 2005 setelah tampuk kepemimpinan di pegang oleh raja Abdullah mass media Saudi Arabia telah membuka kebebasan press lebih dibanding zaman sebelumnya, namun, walau begitu, hingga kini masih ada dua hal yang tetap tergolong hal terlarang untuk di kotak-katik:

Pertama: Legalitas mazhab resmi negara tersebut (Wahabisme).

Kedua: Tahta kerajaan yang bersifat keturunan (Dinasti).

Robert Leisi seorang sejarawan Inggris yang mengarang buku berjudul “Kerajaan; Arab dan Istana Saud” mengatakan: “Tujuan keagamaan negara Saudi selalu berada di atas satu pertanyaan”. Ia menambahkan: “Perkara ini merupakan pondasi semua keyakinan yang dimiliki oleh negara itu. Selain dari perkara ini telah banyak disinggung oleh berbagai peneliti. Mempertanyakan kembali pondasi legalitas keluarga Saud berarti sama halnya dengan menyatakan bahwa nenek moyang mereka adalah orang-orang ateis (tidak beragama)”. Tentu dengan itu mereka akan tersingung berat.

Tersebarnya dua bagian pertama makalahnya menyebabkan munculnya berbagai kritikan tajam dan serangan yang dilancarkan oleh pihak-pihak mass media Saudi Arabia.

Pada bulan Oktober, setelah pihak keluarga kerajaan Saudi mengumumkan dibentuknya sebuah majlis permusyawaratan yang terdiri dari para petinggi negara yang bertujuan untuk melegalisir pemerintahan keluarga -yang didapat secara warisan- dengan cara proses pemilihan. System warisan kekuasaan keluarga pun akhirnya mendapat kritik tajam. Masalah ini selalu dipertanyakan semenjak zaman kekuasaan Abdul Aziz bin Saud yang berhasil menundukkan penguasa-penguasa lokal (setempat) pada tahun 1932 hingga sekarang dimana kekuasaan berada di tangan Abdullah sebagai raja kelima yang menduduki kursi kerajaan.

Prof ad-Dakhil yang hingga kini masih tetap tinggal di rumahnya yang berdekatan dengan universitas Malik Saud dan masih aktif mengajar di Universitas tersebut mengatakan; dirinya telah membahas satu permasalahan sensitif yang itu dianggapnya sebagai tugas dia sebagai seorang dosen dan ilmuan yang dituntut untuk konsis terhadap segala tugas kerjanya.

Setelah adanya pembredelan beberapa artikel yang sempat ditulis dalam Koran “al-Hayat”, beliau bekerjasama dengan sebuah Koran Emarat dan web site yang dijalankan dari London. Walaupun beberapa topik dapat diakses di “Saudi Debate” dan mass media Saudi pun telah tersebar, namun hingga saat ini beberapa orang yang melalui batasan jalur merah (larangan) tadi tidak dapat melakukan aktifitasnya di chanel-chanel parabola Saudi Arabia yang terhitung sebagai media terbesar di negara-negara Arab.

Pada tahun 2004 sebuah undang-undang telah disetujui dimana kritik terhadap kebijakan dan praktik politik pemerintah Saudi yang dilontarkan oleh pihak pegawai negari Arab Saudi seperti Prof ad-Dakhil yang menjadi dosen pada universitas negeri dapat dikategorikan sebagai suatu tindak kriminal. Atas dasar itu sang profesor akhirnya mengirim artikel-artikelnya kepada “New York Times” sehingga kumpulan artikel kritisi gerakan Wahabisme tersebut disebarluaskan melalui mass media itu.

Jadi Ideologi Wahabisme yang mengaku hendak menyelamatkan wilayah yang ada dari penyelewengan agama, prilaku syirik dan khurafat, namun bedasarkan penelitian sang Profesor, semenjak berdirinya wahabisme hingga kini tidak terjadi perubahan yang berarti terhadap akidah masyarakat, dan pada saat awal kemunculannya tidak ada satupun berhala yang diklaim akan dibasmi.

Profesor ad-Dakhil dalam karyanya yang berjudul “Mengenal Wahabisme” -yang tahun ini hendak dicetak oleh Universitas Misigon- menyatakan bahwa; tujuan utama Muhammad bin Abdul Wahab adalah membentuk negara yang kuat sehingga mampu menghapus segala bentuk perbedaan kabilah. Untuk mewujudkan hal tersebut ia melihat bahwa Muhammad bin Saud -pendiri Arab Saudi- layak untuk dijadikan patner kerjanya.

Profesor ad-Dakhil melihat bahwa masjid merupakan salah satu poin utama dalam usaha menampakkan kekuatan mereka. Pengumandangkan azan dan pemaksaan segenap orang untuk melakukan shalat berjamaah merupakan simbol dan bukti akan kepemilikan dan kekuasaan mereka atas masyarakat. Muhammad bin Abdul Wahab menvonis penduduk desa-desa yang menolak untuk bergabung dengan negara Saudi sebagai orang-orang murtad (keluar dari Islam .red). Prof ad-Dakhil menambahkan bahwa mazhab (Wahabisme) merupakan sarana praktis yaang relatif kuat, sehingga hal tersebut dapat dijadikan tolok ukur untuk menilai seorang muslim dinilai sebagai muslim yang baik dan taat adalah dengan melihat adakah ia ukur mengikuti segala ajaran-ajaran mereka (Wahabisme) ataukah tidak. Ini merupakan doktrin yang murni politis namun berkedok agamis, kata Profesor ad-Dakhil.

NB: Ingin lihat artikel sang profesor? buka di;

http://www.saudidebate.com/index.php?option=com_mhauthor&task=show&auth=134&Itemid=113

Hadis Keutamaan Mencintai Ahlul Bait ; Menggugat Syiahphobia Di Kalangan Para Ulama.



Sudah seharusnya kita sebagai umat Islam mencintai Ahlul Bait. Hal yang menurut saya disepakati oleh kedua golongan, baik islam Sunni maupun Syiah. Dan seringkali kita mendengar orang-orang yang mengaku kalau mereka mencintai Ahlul Bait. Sebuah pengakuan tentu bisa diterima sampai ada bukti yang menunjukkan hal sebaliknya. Tetapi patut disayangkan ada pihak-pihak yang sepertinya menunjukkan sinisme terhadap keutamaan-keutamaan Ahlul Bait. Saya pribadi tidak begitu mengerti mengapa muncul gejala seperti ini. Pembahasan berikut adalah contoh yang cukup untuk mewakili betapa sinisme itu telah menjangkiti para Ulama hadis.
Hadis berikut menunjukkan betapa besar anugerah yang dilimpahkan kepada mereka yang mencintai Ahlul Bait Alaihis Salam.

حدثنا عبد الله حدثني نصر بن علي الأزدي أخبرني علي بن جعفر بن محمد بن علي بن الحسين بن علي حدثني أخي موسى بن جعفر عن أبيه جعفر بن محمد عن أبيه عن علي بن حسين رضي الله عنه عن أبيه عن جده ان رسول الله صلى الله عليه و سلم أخذ بيد حسن وحسين رضي الله عنهما فقال من أحبني وأحب هذين وأباهما وأمهما كان معي في درجتي يوم القيامة

Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Nashr bin Ali Al Azdi yang berkata telah mengabarkan kepadaku Ali bin Ja’far bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali yang berkata telah menceritakan kepadaku saudaraku Musa bin Ja’far dari  Ayahnya  Ja’far bin Muhammad dari Ayahnya dari Ali bin Husain radiallauhuanhu dari Ayahnya dari Kakeknya bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam menarik tangan Hasan dan Husain radiallahuanhuma dan bersabda “Barangsiapa mencintai Aku dan mencintai kedua Anak ini serta Ayah dan Ibunya maka dia akan bersama dalam derajatku pada hari kiamat”.
.
Hadis ini diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dalam Musnad Ahmad1/77 no 576, diriwayatkan oleh At Tirmidzi dalam Sunan Tirmidzi 5/641 no 3733, Al Khatib dalam Tarikh Baghdad 13/289 dan diriwayatkan Ath Thabrani dalam Mu’jam As Saghir 2/163 no 960.
Syaikh Ahmad Syakir dalam Syarh Musnad Ahmad no 576 berkata
Sanadnya Hasan. Mengenai Ali bin Ja’far tidak ada seorang Ulama pun yang menilainya cacat ataupun menilainya tsiqah. Saudaranya Musa adalah Musa Kazhim.
Imam Tirmidzi dalam Sunan Tirmidzi no 3733 berkata

قال ابو عيسى هذا حديث حسن غريب لا نعرفه من حديث جعفر بن محمد إلا من هذا الوجه

Abu Isa berkata “Hadis Hasan gharib, kami tidak mengetahui hadis Ja’far bin Muhammad ini kecuali hanya dari sanad ini”
Hadis di atas telah diriwayatkan oleh para perawi tsiqah dan selain Nashr bin Ali Al Azdi semua perawi lainnya adalah keturunan Ahlul Bait. Nashr bin Ali adalah perawi yang tsiqah sebagaimana disebutkan dalam At Tahdzib jilid 10 no 781 bahwa beliau telah dinyatakan tsiqat oleh Abu Hatim, An Nasa’i dan Ibnu Kharasy. Dalam At Taqrib2/243 Ibnu Hajar dengan jelas menyatakan kalau Nashr bin Ali adalah seorang yang tsiqah. Disebutkan dalam At Tahdzib jilid 10 no 781 bahwa Nashr bin Ali Al Azdi mendapat hukuman dari khalifah Al Mutawakil ketika beliau menyebutkan hadis ini.

وقال أبو علي بن الصواف عن عبد الله بن أحمد لما حدث نصر بن علي بهذا الحديث يعني حديث علي بن أبي طالب أن رسول الله صلى الله عليه وسلم أخذ بيد حسن وحسين فقال من أحبني وأحب هذين واباهما وأمهما كان في درجتي يوم القيامة أمر المتوكل بضربه ألف سوط فكلمه فيه جعفر بن عبد الواحد وجعل يقول له هذا من أهل السنة فلم يزل به حتى تركه

Abu Ali bin Shawaf berkata dari Abdullah bin Ahmad “ketika Nashr bin Ali menyebutkan hadis Ali bin Abi Thalib bahwa Rasulullah SAW menarik tangan Hasan dan Husain radiallahuanhuma dan bersabda “Barangsiapa mencintai Aku dan mencintai kedua Anak ini serta Ayah dan Ibunya maka dia akan bersama dalam derajatku pada hari kiamat”. Maka Al Mutawwakil memerintahkan untuk mencambuknya seribu cambukan. Kemudian Ja’far bin Abdul Wahid berbicara kepada Al Mutawakil “orang ini dari Ahlus sunnah” setelah itu baru Nashr dilepaskan.
Hal ini patut diherankan. Mengapa Nashr bin Ali mendapat hukuman seperti itu?. Apakah hanya karena ia menyebutkan hadis tersebut?. Ada apa dengan hadis tersebut?. Bukankah hadis tersebut menceritakan tentang keutamaan Ahlul Bait dan ganjaran bagi para pecintanya. Yah atau mungkin Al Mutawwakil juga mengidap penyakit Syiahphobia sehingga hanya dikarenakan Nashr meriwayatkan hadis tersebut maka ia dianggap Rafidhah. Hal ini diisyaratkan oleh Al Khatib dalam Tarikh Baghdad.
Al Khatib menyebutkan dalam Tarikh Baghdad 13/289

إنما أمر المتوكل بضربه لانه ظنه رافضيا فلما علم أنه من أهل السنة تركه

Sesungguhnya Al Mutawwakil memerintahkan untuk menghukum Nashr karena ia menyangka Nashr seorang Rafidhah tetapi setelah ia mengetahui kalau ia adalah ahlussunnah maka hukuman tersebut dihentikan.
Satu-satunya yang dipermasalahkan oleh mereka Ulama hadis yang mempermasalahkan hadis ini adalah Ali bin Ja’far. Adz Dzahabi berkata tentang Ali bin Ja’far dalam Mizan Al ‘Itidal 2/220 no 5799

ما هو من شرط كتابي ، لانى ما رأيت أحدا لينه ، نعم ولا من وثقه ، ولكن حديثه منكر جدا ، ما صححه الترمذي ولا حسنه

Dia tidak memenuhi syarat dalam kitab kami, karena kami tidak mendapati seorang ulamapun yang menyatakan dia cacat dan tidak juga yang mengatakan ia tsiqah akan tetapi hadis riwayatnya sangat mungkar (munkar jiddan). Tirmidzi tidak menshahihkan hadisnya dan tidak pula menyatakan hasan.
Ada beberapa catatan yang patut diberikan terhadap komentar Adz Dzahabi. Memang dalam sebagian naskah Sunan Tirmidzi tidak disebutkan adanya pernyataan bahwa hadis tersebut hasan tetapi dalam Sebagian naskah yang lain pernyataan tersebut jelas-jelas disebutkan. Syaikh Ahmad Syakir telah memberikan penjelasan soal ini dan dalam Sunan Tirmidzi Tahqiq Syaikh Ahmad Syakir didapatkan pernyataan Tirmidzi yang menghasankan hadis tersebut. Begitu pula Al Mubarakfuri dalamTuhfatul Ahwazi Syarh Sunan Tirmidzi juga menegaskan bahwa Tirmidzi menghasankan hadis Imam Ali bin Ja’far. Bahkan Syaikh Al Albani sendiri yang walaupun menolak hadis ini tetap mengakui kalau Tirmidzi menghasankan hadis tersebut dalam Sunan Tirmidzi tahqiq beliau. Kemudian pernyataan Adz Dzahabi terhadap Ali bin Ja’far adalah suatu bentuk kecerobohan yang sangat. Entah mengapa nama besar Ali bin Ja’far yang dikenal dengan sebutan Imam Uraidhi kredibilitasnya tidak dikenal oleh ulama hadis sekaliber Adz Dzahabi. Untunglah dalam hal ini Ibnu Hajar masih lebih baik, ia berkata dalam At Taqrib 1/689

علي بن جعفر بن محمد بن علي بن الحسين بن علي أبو الحسن العلوي أخو موسى مقبول

Ali bin Ja’far bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali Abul Hasan Al Alawiy saudara Musa, maqbul (diterima hadisnya)
Bagi saya ini pun adalah salah satu bentuk sinisme yang ringan dari Ibnu Hajar. Walaupun pernyataan maqbul berpredikat ta’dil tetap saja kedudukannya berada di bawah tsiqat ataupun shaduq. Bisa dibilang itu adalah ta’dil paling rendah dari Ibnu Hajar. Bukankah Imam Ali bin Ja’far Al Uraidhi adalah Imam Ahlul Bait dimana hampir semua Ulama Ahlul Bait di Hadhramaut adalah keturunan beliau. Sungguh saya tidak mengerti mengapa Nashr bin Ali Al Azdi jauh lebih dikenal ketsiqahannya dibanding Ali bin Ja’far. Inikah kecintaan kepada Ahlul Bait?. Imam Ali bin Ja’far yang merupakan Ulama keturunan Rasulullah SAW dipandang sebelah mata oleh Adz Dzahabi dan tidak hanya itu dengan mudahnya ia berkata bahwa hadis Imam Ali bin Ja’far sangat mungkar. Padahal sudah jelas diketahui dalam Kutub As Sittah kalau hadis Ali bin Ja’far cuma satu ini yang itupun dinyatakan sangat mungkar. Saya pribadi tidak tahu dimana letak kemungkarannya, justru pernyataan Adz Dzahabi itu merupakan kemungkaran yang nyata.
Ceritanya tidak berhenti sampai disini, ternyata komentar Adz Dzahabi ini menjadi panutan bagi para ahli hadis setelahnya terutama para Salafiyun. Di antara mereka ada Syaikh Syu’aib Al Arnauth yang mendhaifkan hadis Imam Ali bin Ja’far dalamSyarh beliau terhadap Musnad Ahmad no 576. Begitu pula Bashar A’wad Ma’ruf Pentahqiq Kitab Tarikh Baghdad 15/390 no 7207 yang mendhaifkan hadis ini dengan bersandar pada pernyataan Adz Dzahabi dalam As Siyar 3/117 “hadis ini sangat mungkar (munkar jiddan)”. Dan tentu masih berkali-kali Syaikh yang sama yaitu Syaikh Al Albani yang mendhaifkan hadis ini di tiga tempat yang dapat saya temukan. Pertama beliau memasukkan hadis ini dalam Dhaif Sunan Tirmidzi hal 504, Dhaif  Jamius Shaghir no 5344 dan dalam kitab monumentalnya Silsilah Ahadis Ad Dhaifahno 3122 dimana ia berkata “hadis mungkar”.
Mereka yang mendhaifkan hadis ini telah keliru, karena tidak ada alasan sedikitpun menyatakan hadis tersebut dhaif. Mereka tidak dapat menunjukkan satupun cacat terhadap Imam Ali bin Ja’far sedangkan kata-kata munkar jiddan Dzahabi adalah penilaian pribadinya terhadap isi hadis tersebut yang mungkin baginya keutamaan ahlul bait dan para pecinta Ahlul bait adalah sesuatu yang mungkar, Just Syiahpobhia. Bukankah di kalangan ahli hadis suatu hadis disebut munkar jika hadis tersebut diriwayatkan oleh perawi dhaif dan bertentangan dengan hadis perawi tsiqat atau shahih. Kalau begitu maka mengapa Adz Dzahabi tidak menampilkan sedikitpun hadis yang bertentangan dengan hadis Imam Ali bin Ja’far. Tentu saja klaim seperti itu tidak bernilai sedikitpun dan bagi saya itu tampak seperti sebuah celaan terhadap Imam Ali bin Ja’far Al Uraidhi padahal cuma ini satu-satunya hadis Imam Ali bin Ja’far yang ada dalam Kutub As Sittah
Untunglah tidak semuanya seperti mereka, Tirmidzi telah menghasankan hadis tersebut dalam kitab Sunan Tirmidzi no 3733 tidak seperti yang dikatakan Adz Dzahabi yang terburu-buru mengatakan kalau Imam Tirmidzi tidak menghasankan hadis Imam Ali bin Ja’far. Al Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwazi Syarh Sunan Tirmidzino 3885 juga menyatakan kalau hadis ini hasan. Begitu pula Syaikh Ahmad Syakir telah menyatakan hadis ini hasan dalam Musnad Ahmad no 576. Sebenarnya hadis tersebut Shahih dan tidak diragukan lagi kalau Imam Ali bin Ja’far adalah tsiqah. Bukti akan ketsiqahan Imam Ali bin Ja’far adalah telah meriwayatkan dari beliau para perawi tsiqah diantaranya Nashr bin Ali dan Salamah bin Syabib. Dalam At Taqrib1/377 Ibnu Hajar menyatakan bahwa Salamah bin Syabib tsiqat. Jadi Imam Ali bin Ja’far dinyatakan tsiqat dengan alasan
  • Beliau adalah seorang Imam keturunan Ahlul Bait
  • Telah meriwayatkan darinya para perawi tsiqat dalam hal ini telah ditunjukkan diantaranya Nashr bin Ali Al Azdi dan Salamah bin Syabib
  • Tidak ada satupun jarh atau cacat yang ditujukan kepada Beliau
Ketiga alasan ini sudah cukup untuk menyatakan beliau sebagai perawi tsiqat dan hadisnya Shahih. Sedangkan sinisme-sinisme yang beraroma Syiahpobhia tidak layak disematkan kepada Imam Ali bin Ja’far Al Uraidihi. Saya akhiri tulisan ini dengan kesimpulan Hadis Imam Ali bin Ja’far Al Uraidhi adalah Shahih.
Salam Damai

AHL AL-BAYT DALAM SUNNAH NABI S.A.W



Sesiapa yang mengkaji sunnah Rasulullah dan perjalanan hidupnya yang praktikal serta hubungannya dengan Ahl al-Baytnya yang telah dinaskan oleh al-Qur’an dan diperkenalkan oleh Nabi s. ‘a.w (‘Ali, Fatimah dan kedua anak-anaknya)1 akan mengetahui bahawa ahli keluarga nabi ini mempunyai peranan dan tanggungjawab risalah dan tamadun sejarah umat ini yang tersendiri, yang mana Rasulullah yang merancang dan menyediakan kepada umatnya supaya menerimanya dengan perintah daripada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sesungguhnya telah bermula peringkat pertama daripada perancangan Nabi apabila Allah Ta’ala memerintah kepada RasulNya (Muhammad) untuk mengahwinkan anaknya Fatimah kepada Imam ‘Ali bin Abi Talib dan lahirlah dari keturunan yang berkat ini, anak cucunya yang berterusan di sepanjang zaman.
Nabi s. ‘a.w berkata kepada ‘Ali ketika baginda mengahwinkannya dengan Fatimah
Maksudnya:
“Sesungguhnya Allah telah menyuruh aku mengahwinkanmu dengan Fatimah dengan maskahwin sebanyak 400 (empat ratus) mithqal daripda perak, jika kamu ridha dengan yang demikian, maka ‘Ali menjawab; “Sesungguhnya aku telah ridha dengan itu wahai Rasulullah.”
Anas bin Malik berkata: lalu Rasulullah bersabda; “Mudah-mudahan Allah menghimpunkan ikatanmu, memberi kebahagiaan dan memberkati serta mengurniakan kepada kamu berdua (rezeki) yang baik lagi banyak.” Anas berkata: “Demi Allah sesungguhnya Allah telah mengurniakan kepada keduanya (rezeki yang banyak lagi baik.”2
Diriwayatkan bahawa ketika Nabi mengahwinkan Fatimah dengan ‘Ali, baginda masuk (ke bilik) Fatimah dan mendoakan kepadanya, kemudian Umm Aiman membawa mangkuk berisi air kemudian dicurahkan, lalu renjiskan kepada Fatimah dan di antara buah dadanya lalu bersabda:
1 al-Tabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, Musnad al-Imam Hasan, jld.1.h.125, manuskrip di Maktabah al-Zahiriyyah di Damsyik, direkodkan dengan nas asal oleh al-Tabrani, al-Haithami dalam Majma’ al-Zawa’id, jld. 9.h.168; al-Tabrani, al-Zakha’ir, h.25; Ahmad fi al-Manaqib al-Suyuti fi Ihya’ al-Mayyit selepas tafsir surah al-Syura: 23, mereka bertanya wahai Rasulullah: “Siapakah kerabat kamu yang diwajibkan ke atas kami mengasihi mereka.” Rasulullah s. ‘a.w: “Ali, Fatimah dan kedua anak mereka.” 2 Muhibuddin al-Tabari, Zakha’ir al-Uqba, h.30
33
“Ya Allah! Aku minta Engkau melindunginya dan keturunannya dari syaitan yang direjanm. Nabi s. ‘a.w bersabda kepada ‘Ali, “bawakan air kepadaku.” ‘Ali pun bawakan air itu kepada nabi, lalu nabi s. ‘a.w merenjiskan ke atas kepada ‘Ali dan di antara dua bahunya dan berkata, ertinya:
“Ya Allah aku bermohon, lindungilah ‘Ali dan keturunannya daripada syaitan yang direjam.”
Dalam satu riwayat lain pula Nabi s. ‘a.w meminta dibawakan air, lalu baginda berwuduk dan mencurahkannya ke atas ‘Ali dan Fatimah dan berdoa:
Ertinya: “Ya Allah berkatilah kepada keduanya dan keturunannya.”3
Ketika Fatimah hendak dilamar oleh salah seorang sahabat nabi, baginda memberi alasan dengan sabdanya: “Belum lagi diturunkan ketentuan (Allah).”4
Ini adalah inayah Allah dan Nabi s. ‘.a.w mengenai perkahwinan Fatimah dengan ‘Ali. Tidak sempurna perkahwinan itu kecuali dengan perintah Allah Ta’ala adalah satu bukti yang jelas tentang kedudukan Ahl al-Bayt.
Tidak ada tujuan di sebalik hubungan Nabi s. ‘a.w dengan Ahlul Bayt melainkan untuk kebaikan umat, kerana kedudukan (mereka yang telah dihuraikan oleh al-Qur’an al-Karim melalui ayat-ayat yang berkaitan dengan mereka dan sunnah Nabi (yang akan dihuraikan) nanti.
Mudah-mudahan apa yang hendak kita petik dan kemukakan daripada riwayat dan hadith-hadith Rasulullah s. ‘a.w yang banyak mengenai Ahlul Bayt, akan membawa penemuan yang mendalam dan tujuan daripada penjagaan Allah dan nabinya dalam pembinaan keturunan ini dan kasih saying serta berkat yang menyeluruh, supaya ahli keluarga ini menjadi petunjuk kepada umat yang berada dalam keadaan kebingungan dan menjadi punca kejayaannya dalam dugaan hidup mereka serta menjadi system dan pusat penggerak yang terpenting untuk perpaduan mereka sebagaimana yang dinaskan oleh beberapa riwayat hadith mengenainya.
Rasulullah menyandarkan keturunan ‘Ali dan Fatimah kepada dirinya sendiri dengan mengatakan sesungguhnya mereka itu adalah keturunanku dan anak-anakku sebagaimana yang diterangkan al-Qur’an dengan firmannya:
3 al-Syabrawi al-Syafi’i, al-Ithaf bi Hubb all-Ashraf, h.21 4 Muhibuddin al-Tabari, Zakha’ir al-Uqba, h. 30
34
Ertinya:
“Maka siapa yang membantah tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang menyakinkan kamu) maka katakanlah kepadanya, marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri-diri kami dan diri kamu.”
Maka anak-anak nabi yang dimaksudkan dalam ayat ini ialah al-Hasan dan al-Husayn seperti yang kita ketahui daripada ahli-ahli tafsir dan ahli-ahli sejarah.
Rasulullah s. ‘.a.w telah berulang kali menguatkan makna di atas kepada umatnya, antaranya ialah sabdanya:
Ertinya:
“Sesungguhnya Allah telah menjadikan sekalian nabi daripada sulbinya dan Allah menjadikan keturunanku dari sulbi yang ini, maksudnya ialah ‘Ali.”5
Begitu juga ketika Nabi s. ‘a.w mendukung al-Hasan dan al-Husayn, baginda s. ‘a.w bersabda:
Ertinya:
“Tiap-tiap anak ada bapanya, sesungguhnya asabah (keturunan) mereka mengikut bapa mereka kecuali anak Fatimah bahawa sesungguhnya akulah bapa mereka dan asabah mereka.”6
Sesungguhnya Rasulullah s. ‘a.w dalam setiap peristiwa mengukuhkan maqam Ahl al-Bayt supaya umatnya merujuk kepadanya, iltizam dengan manhajnya dan berpegang teguh mencintainya, dan dalam beberapa riwayat daripada Rasulullah s. ‘a.w kita dapati bahawa Ahl al-Bayt adalah sebagai penyelamat umat dan Rasulullah s. ‘a.w menyertakan Ahl al-Bayt dengan kitab Allah dan menjadikan peranan mereka dari segi aqidah dan risalah kepada umat ini sentiasa selari dengan kitab Allah dan tidak terpisah daripadanya
5 al-Tabari, Zakha’ir al-Uqba, h.67 6 6 Hadith ini telah disebutkan dengan perbezaan oleh al-Tabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, jld.1,h.24 manuskrip. Juga oleh al-Muttaqi dalam kanz al-‘Ummal, jld. 6, h.22; al-Muhibb al-Tabari dalam Zakha’ir al-Uqba, h.121; al-Suyuti dalam Ihya al-Mayyit, h, 26, dengan lafaz berikut: diriwayatkan oleh al-Tabrani daripada Umar bersabda Rasulullah:
Ertinya: “Tiap-tiap anak perempuan maka keturunannya adalah daripada bapanya kecuali anakku Fatimah maka akulah keturunan mereka dan akulah bapa mereka.”
35 supaya umat (islam menumpukan pandangan mereka kepada Ahl al-Bayt untuk memahami al-Qur’an al-Karim, mengeluarkan makna dan hokum hakamnya.
Terdapat banyak kitab hadith dan sirah yang menyebutkan nas-nas dari nabi yang dinamakan hadith (al-Tsaqalain), dan orang-orang Islam dari berbagai mazhab siasah dan fiqah meriwayatkan hadith Thaqalaini ini. Di bawah ini, kita sebutkan berserta dengan sebahagian sanadnya seperti yang dipetik oleh perawi dan ahli-ahli hadith.
PERTAMA: HADITH AL-THAQALAIN
Ertinya:
“Sesungguhnya aku hampir-hampir dipanggil lalu aku menerimanya dan sesungguhnya aku meninggalkan kepadamu dua perkara yang sangat berharga, Kitab Allah ‘Azza wa Jalla dan Itrahku; satu ikatan yang bersambung daripada langit ke bumi dan ‘Itrahku ialah Ahl Baytku, dan bahawa Allah yang Maha Penyayang memberitahu aku bahawa kedua-dua perkara tidak akan berpisah sehingga keduanya dikembalikan kepada aku di Telaga Haud. Maka tunggulah (balasan Allah) dengan sebab kamu menyalahi aku pada kedua-duanya.”7
7 Diriwayatkan olah al-Tirmizi dalam Sahihnya Manaqib Ahlul Bayt, jld.2.h.360 dengan sanadnya daripada Zaid bin Arqam. Di akhir hadith ini al-Tirmizi berkata hadith ini baik (hasan) tetapi Gharib. Al-Hakim mengeluarkan hadith ini dalam Mustadrak, jld.3, h.109 dengan sanadnya daripada Zaid bin Arqam juga; Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya, hadith marfu’ daripada Abu Said al-Khudri, jld.3 h.17; al-Tabari dalam Mu’jam al-Kabir, jld.1.h.129 dalam manuskrip; Muhibb al-Tabari memetik daripada Ahmad dalam Zakha’ir, h.16.
36
Al-Shabrawi telah memetik dalam kitabnya al-Athaf bi Hubb al-Ashraf (dikeluarkan oleh Muslim dan al-Tirmizi dan menerima sebagai hadith hasan dan al-Hakim dan lafaz Muslim daripada Zaid bin Arqam r.d. berkata maksudnya: Rasulullah telah berdiri berkhutbah di hadapan kami. Setelah memuji Allah, Rasulullah s. ‘a. w bersabda:
Ertinya:
“Wahai manusia sesungguhnya aku adalah manusia sudah hampir tiba utusan Tuhanku maka aku akan memenuhi permintaannya dan aku tinggalkan padamu dua perkara yang berharga. Pertamanya Kitab Allah di dalamnya ada petunjuk dan cahaya maka ambillah Kitab Allah dan berpegang teguh dengannya.” Seterusnya Nabi bersabda maksudnya: “dan Ahli Baytku, akan mengingatkan kamu tentang Allah dalam (mengingati) Ali Baytku.”8
Kemudian disebut lagi dalam riwayat lain;
Ertinya:
“Aku tinggalkan dua perkara, kamu tidak akan sesat jika kamu mengikutnya, Kitab Allah dan Ahli Baytku,” dan dalam riwayat yang lain;
Ertinya:
“Tidak akan berpisah sehingga kedua-duanya dipulangkan kepadaku di Haud, maka tunggulah bagaimana jika kamu menyalahi kami dalam keduanya.”9
Kemudiannya al-Shabrawi menyebutkan juga; berkata Ibn Hajar dalam al-Sawa’iq, Nabi s. ‘a.w menamakan al-Qur;an dan keluarganya (al-Itrah) sebagai al-Thaqalain kerana al-Thaqal adalah tiap-tiap suatu yang penting dan sangat berharga dan keduanya memanglah sangat berharga kerana kedua-duanya tempat perbendaharaan ilmu agama dan rahsia hukum-hukum syarak. Sebab itulah digalakkan untuk mengikutinya, dan ada yang mengatakan bahawa dinamakan al-Thaqalain kerana diwajibkan memelihara hak keduanya, kemudian digalakkan untuk menteladaninya ialah orang-orang yang arif
8 al-Shabrawi al-Syafi’e, al-Athaf bi Hubb al-Ashraf, h.22 9 Ibid.
37 dengan Kitab Allah dan yang berpegang teguh dengan sunnah rasulnya kerana merekalah yang tidak terpisah dengan al-Qur’an sehingga ke telaga al-Haud.10
Al-Allamah al-Shaikh Muhammad Jawwad al-Balaghi menyebutkan dalam Ala al-Rahman fi tafsir al-Qur’an seperti berikut, yang demikian itu adalah seperti Hadith al-Thaqalain yang mutawatir secara pasti yang disebutkan oleh saudara kita daripada Ahl al-Sunnah dalam kitab-kitab mereka dan dipetik riwayatnya daripada sahabat-sahabat yang mendengarnya daripada ‘Rasulullah s. ‘.a.w:11
Di bawah ini senarai nama-nama sahabat yang mendengar hadith ini daripada Rasulullah s. ‘a.w:
1. ‘Ali bin Abi Talib
2. Abdullah bin ‘Abbas.
3. Abu Dzar al-Ghiffari
4. Jabir al-Ansari
5. Abdullah bin Umar
6. Huzaifah bin Usaid
7. Zaid bin Arqam
8. Abdul Rahman bin ‘Auf
9. Dumairah al-Aslami
10. Asim bin Laili
11. Abu Rafi’
12. Abu Hurairah
13. Abdullah bin Hantab
14. Zaid bin Tsabit
15. Umi Salamah
16. Umi Hani, saudara perempuan Saidina ‘Ali
17. Khuzaimah bin Tsabit
18. Sahl bin Saad
19. Adi bin Hatim
20. Uqbah bin Amir
21. Abu Ayub al-Ansari
22. Abu Said al-Khudri
23. Abu Shuraih al-Khuza’I
24. Abu Qudamah al-Ansari
25. Abu Laili
26. Abu al-Haitham al-Thaihan
10 al-Balaghi, ‘Ala al-Rahman, h.44 11 Ibid.
38 Mereka yang disebutkan namanya di atas selepas Umi Hani, telah meriwayatkan hadith di atas secara bersendirian dan mereka pergi ke Kufah berserta dengan tujuh orang Quraisy kemudian mereka mengaku bahawa mereka semua mendengar hadith tersebut di atas daripada Rasulullah s. ‘a.w maka mereka semuanya berjumlah seramai 33.
Hadith tersebut juga diriwayatkan oleh Abu Naim al-Asfahani dalam kitab al-Munaqib al-Muthahhirin, sanadnya daripada Jubair bin Mat’am juga daripada Anas bin Malik dan daripada al-Barra’ bin ‘Azib. Muwaffaq bin Ahmad Akhtab Khawarizm meriwayatkan daripada ‘Umru bin al-As, dan sedikit sahaja yang tidak meriwayatkan hadith di atas sama ada dalam kitab-kitab sanad, jami’ atau kitab mengenai fadilat-fadilat oleh ahli sunnah dari mula dikeluarkan hadith ini daripada hafalan atau penghafal-penghafal hadith itu sehinggalah kitab-kitab hadith, dan terus menerus diriwayatkan daripada seorang sahabi atau lebih, dan boleh jadi juga diriwayatkan dalam salah satu riwayat oleh lebih daripada 20 orang sahabi. Ada pun secara ringkas seperti yang terdapat dalam al-Sawa’iq manakala musnad yang terperinci seperti yang tersebut dalam kitab-kitab karangan al-Sakhawi, al-Suyuti, al-Samhudi dan lain-lain.
Seterusnya Muhammad al-Jawwad al-Balaghi berkata: al-Imamiyah meriwayatkan dalam kitab-kitab mereka dengan beberapa isnad yang berulang-ulang daripada al-Baqir .a.s, al-Rida ‘a.s, al-Kazim ‘a.s, al-Sadiq ‘a.s daripada bapa-bapa mereka daripada Rasulullah s. ‘a.w dan melalui isnad yang lain daripada Amir al-Mu’minin ‘Ali, ‘Umar, Ubay, Jabir, Abi Said, Zaid bin Arqam, Zaid bin Tsabit, Huzaifah bin Usaid, Abi Hurairah, dan lain-lain daripada Rasulullah s. ‘a.w.12
Al-Allamah Fairuzabadi memetik hadith a-Thaqalain yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Sahihnya, Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya (j.4.h.266), al-Baihaqi dalam Sunannya (j.2, h.148 dan j.7, h. 30), al-Darimi dalam Sunannya (j.2, h. 431), al-Muttaqi dan Kanz al-Ummal (j.1, h.45 dan j.7, h.102), al-Sahawi dalam Mushkil al-Athar (j.4,h.368), al-Tirmizi dalam Sahihnya (j.2, h.308), Ibn al-Athar al_Jazari dalam Asad al-Ghaya (j.2, h.12), al-Suyuti dalam al-Durr al-Manthur (hujung tafsir ayat al-mawaddah dalam surah al-Syura) diriwayatkan dalam Mustadrak al-Sahihain (j.3, h. 109), al-Nasai dalam Khasa’isnya (h.21) dalam Mustadrak al-Sahihain (j.3, h.148) dan dalam Musnad Ahmad bin Hanbal (j.3, h.17) dan diriwayatkan dengan sanadnya daripada Abi Said al-Khudri daripada Nabi s. ‘a.w:
Ertinya:
“Sesungguhnya aku hampir dipanggil lalu aku menunaikan (panggilannya) dan sesungguhnya aku tinggalkan kepada kamu dua perkara yang berharga, kitab Allah ‘Azza wa Jalla dan keluargaku. Kitab Allah tali yang memanjang daripada langit sampai ke
12 al-Balaghi, Ala al-Rahman, j.2.h.43
39 bumi dan Itrah aku ialah ahli baitku, dan bahawa Allah yang bersifat Latif memberitahu aku bahawa keduanya tidak akan terpisah sehingga kembali keduanya kepadaku di Haud , maka tunggulah (balasan) kerana menyalahi aku dalam kedua-duanya.”
Diriwayatkan (hadith di atas) oleh Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya (j.4, h.371 dan dalam j.5, h.181), Abu Naim dalam Hilyah al-Awliya’ (k.1,h.355), al-Muttaqi dalam Kanz al-Ummal (j.1,h 96), al-Haithami dalam Majmu’nya (j.9, h. 64) dan 163) dan dalam al-Sawa’iq al-Muhriqah oleh Ibn Hajar (h. 75).13
Begitulah kita dapati dalam menyatakan hadith di atas begitu mutawatir sama ada dari segi lafaz dan maknanya yang menyebutkan Ahi al-Bayt dengan kitab Allah. Dan situ umat Islam memahami bahawa Ahi-al-Bayt adalah sumber rujukan selepas kitab Allah dan mereka itu adalah pemegang amanah kepada al-Qur’an sehingga keduanya dikembalikan ke pangkuan Rasulullah di Telaga Haud.
KEDUA: HADIS AL-SAFINAH
Kalau hadith al-Thaqalain telah meletakkan Ahi al-Bayt di sam-ping al-Qur’an kerana mempunyai tugas untuk menerangkan a!Qur’ãn dan menyingkap rahsia-rahsianya, kandungannya dan memelihara al-Qur’an, maka hadith al-Safinah menjelaskan kepada umat bahawa Ahi al-Bayt adalah ibarat sebuah kapal penyelamat dan sumber keselamatan bagi umat sesudah Rasulullah s. ‘a.w. Oleh itujika ada orang yang tidak mengikuti dan tidak manaik kapal ini sudah tentu akan tenggelam dan binasa. Sesungguhnya tertinggal danpada Ahl al-Bayt bererti tertinggal daripada para pemimpin yang akan membawa ke pantai hidayah dan keselamatan.
Al-Syabrawi aI-Syãfi’i meriwayatkan daripada Rãfi’ Mawla Abi Zar berkata: Abu Zar r.d. naik ke atas tangga pintu Ka’abah dan berdin dekat pintu dan bersandar kepadanya lalu berkata: “Wahai manusia siapa yang mengenali aku sesungguhnya dia kenal aku dan siapa ingkar kepada aku maka akulah Abü Zar, aku telah mendengar Rasulullah s. ‘a.w. bersabda”:
Maksudnya:
“Ahli baitku adalah umpama kapal Nabi Nüh, siapa yang menaikinya selamat dan siapa yang tertinggal daripadanya dicampakkan (ke dalam) api neraka.”
Aku mendengar Rasulullah bersabda:
13 al-Fairuzabadi, Fadail al-Khamsh Min al-Sihah al-Sunnah, j2.h.61
40
Ertinya:
“Jadikanlah Ahl baitku daripada kamu seperti kedudukan kepala daripada jasad dan seperti kedudukan dua mata daripada kepala, maka sesungguhnya tubuh badan itu tidak dapat menuju ke arah yang betul melainkan dengan kepala dan kepala itu tidak dapat menuju ke arah’ yang betul melainkan dengan dua mata.”14
Diriwayatkan oleh Abu Na’im dengan sanadnya danpada Sa’id bin Jubair daripada Ibn ‘Abbas berkata bahawa Rasulullah telah bersabda:
Ertinya:
“Perbandingan Ahli baitku di kalangan kamu adalah seperti kapal Nabi Nüh a.s. ‘siapa yang menaikinya akan selamat dan siapa yang meninggalkannya akan tenggelam.”15
Hadis ini juga telah diriwayatkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak al-Sahihain (j.2.h 343) dan berkata bahawa hadith ini sahih mengikut syarat Muslim, al-Muttaqi meriwayatkan dalam Kanz al-Ummal (j.6,h.212), al-Haithami dalam Majma’ (j.9,h.168), Muhibb al-Din al-Tabari dalam Zakha’ir (h.20) dan al-Khatib al-Baghdadi dalam Tarikh (j.12,h.19).16
Diriwayatkan melalui sanad daripada Anas bin Malik berkata setelah berkata Rasulullah s. ‘a.w:
Ertinya:
“Sesungguhnya aku dan Ahl al-Baytku adalah diumpamakannya seperti kapal Nabi Nuh, barang siapa yang menaikinya selamat dan siapa yang meninggalkannya tenggelam.”17
Al-Suyuti meriwayatkan dalam al-Durr al-Manthür di hujung tafsir firman Allah:
14 Syabrawi al-Syafi’i, al-Ithaf bi Hubb al-Asyraf, h.26 15 Abu Nuaim, Hilyah al-Awliya’, j.4.h.306 memetik daripada Fairuzabadi, Fadail al-Khamsah Min al-Sihah al-Sittah, j.2.h.64; Ibn Hajar dalam Zawaid, Musnad al-Bazzar, bab Ahlul Bayt wal-Azwaj, h. 277, al-Haithami memetik daripada Ibn Bazaaar dalam Majma’ al-Zawa’id, j.9.h.163; al-Tabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, j.1.h.125; Musnad al-Imam Hasan dalam manuskrip di Zahiriyah, Damsyik; al-Muhibb al-Tabari dalam Zakha’ir, h. 20; al-Hakim dalam al-Mustadrak, j.2.h.343; al-Muttaqi dalam Kanz al-Ummal, j.6.h.216. 16 Ibid. 17 Ibid.
41
Al-Suyuti berkata: Ibn Abi Shaibah meriwayatkan daripada ‘All bin Abi Talib ‘a.s. bahawa ia berkata:
Ertinya:
“Sesungguhnya perumpamaan kami dalam umat itu adalah seperti kapal Nuh dan seperti Pintu Kebebasan.”18
Al-Muttaqi meriwayatkan dalam Kanz al-’Ummãl (j. 6, h. 216)
dengan lafaz:19
Umpama Ahli baitku padamu adalah seperti kapal Nub (‘a.s.) sesiapa yang menaikinya akan selamat dan sesiapa yang tertinggal daripada (menaikinya) binasa, dan umpama Pintu Kebebasan bani Israel.”19
Al-Muttaqi berkata bahawa hadith itu dikeluarkan oleh al-Tabrani daripada Abi Dzar.
KETIGA: HADITH AMAN DARIPADA PERSELISIHAN
Dalam hadith ini Rasulullah s. ‘a.w menjelaskan peranan Ahl al-Bayt dari segi aqidah dan siasah. Sesungguhnya perkara yang paling bahaya yang menimpa umat ialah perpecahan dan perbalahan dalam pemikiran, aqidah dan arah politik. Sesungguhnya Rasulullah s. ‘a.w begitu bimbang terhadap umatnya mengenai fitnah di atas, Rasulullah s. ‘a.w telah merancang kesatuan dan perpaduan umat dari segi pemikiran dan politik. Oleh sebab itu baginda s. ‘a.w mengarahkan umatnya supaya patuh dan berpegang teguh kepada ahl al-baytnya serta merujuk kepada mereka, sebab itu Rasulullah s.’a.w mensifatkan mereka sebagai orang yang sentiasa bersama-sama dengan al-Qur’an dan dakwahnya, dan mereka tidak terpisah dengan al-Qur’an sehingga ke hari qiamat dan mereka itu sebagai penyelamat dan pintu kebebasan, dan dalam hadith ini juga Rasulullah mensifatkan mereka sebagai pusat yang menyatukan umat.Oleh itu berpegang teguh kepada mereka dan berjalan mengikut perjalanan mereka, di jamin keselamatan daripada perpecahan dan perselisihan.
Al-Tabrani meriwayatkan (hadith) daripada Ibn ‘Abbas r.d. bahawa Nabi s. ‘a.w bersabda:
18 Ibid. 19 Ibid.
42 Maksudnya:
“Bintang-bintang adalah keamanan bagi penghuni bumi daripada tenggelam dan ahli baitku adalah keamanan bagi penghuni bumi danpada perselisihan.”20
Muhibb al-Din al-Tabari meriwayatkan daripada ‘All yang berkata: telah bersabda Rasulullah s.’a.w
Ertinya:
“Bintang itu (symbol) keamanan bagi penghuni langit dan apabila hilang bintang-bintang itu maka hilanglah penghuni-penghuni langit, dn ahli baitku ialah (simbol) keamanan bagi penghuni bumi dan apabila telah pergi ahli baitku maka lenyaplah penghuni bumi.”
Ia berkata, hadith ini dikeluarkan oleh Ahmad bin Hanbal dalam Manaqib.21
KEEMPAT: HADITH AL-KISA (SELIMUT)
Hadith ini bersumber dari Rasulullah mengenai ‘Ali, Fatimah, Hasan, dan Husayn ketika turunnya ayat al-Tathir.Perkara ini telah kita jelaskan di ruangan yang lalu tetapi kini kita kemukakan pula pandangan setengah ahli tafsir dan riwayat-riwayat yang berkaitan dengan mereka yang disucikan dalam bahasan (Ahl al-Bayt dalam al-Qur’an) dan kita ulangi kembali dengan mengemukakan riwayat-riwayat yang lain untuk mengukuhkan pemikiran dan mendalamkan tujuan yang diarahkan Rasulullah secara tidak langsung.
Jalan dan Isnad hadith di atas banyak terkandung di dalam kitab-kitab hadith, riwayat dan tafsir. Kitab sebutkan sebahagian daripadanya:
Ada pun hadith yang diriwayatkan daripada Umi Salamah isteri Nabi s. ‘a.w Radiya Allah ‘anha, al-Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam Musnadnya yang di rafa’kan kepada Umi Salamah yang berkata: ketika Rasulullah s. ‘a.w berada di dalam rumahku pada suatu hari tiba-tiba seorang khadam berkata bahawasanya ‘Ali dan Fatimah berada di depan pintu, berkata (Umi Salamah): Nabi s. ‘a.w telah bersabda kepada aku: bangunlah dan beri laluan kepada ahli baitku. Berkata (Umi Salamah): aku bangun dan berpindah ke sebelah rumah yang berdekatan, kemudian masuklah ‘Ali, Fatimah, al-Hasan dan al-Husayn, kedua-duanya kanak-kanak yang masih kecil, lalu Nabi pun mengambil Hasan dan Husayn, dan diletakkan keduanya di bilik Nabi s. ‘a.w dan diciumnya dan baginda memegang ‘Ali dengan salah satu tangannya, sedang tangannya yang satu lagi memegang Fatimah lalu menutupi mereka itu dengan kain selimut berwarna hitam, kemudian baginda berdoa:
20 al-Syabrawi al-Syafi’I, al-Ithaf bi Hubb al-Ashraf, h.20; al-Hakim dalam al-Mustadrak al-Sahihain, j3. h.143, dan berkata bahawa hadith ini sahih sanadnya tetapi tidak dikeluarkan seperti yang dikemukakan oleh al-Muttaqi dalam Kanz al-Ummal, j.6.h.217; Ibn Hajar dalam al-Sawa’iq dan menganggapnya sebagai hadith sahih, h.140. 21 al-Fairuzabadi, op.cit., h.68
43
“Allahuma, Ya Allah kepadamu, aku dan Ahl al-Baitku tidak ke neraka.” Berkata Umi Salamah dan bagaimana aku yan Rasulullah. Rasulullah berkata: “Dan Engkau.”22
A1-Wãhidi meriwayatkan dalam kitabnya yang berjudul (Asbãb al-Nuzül) yang dirafa’kan kepada Umi Salamah bahawa beliau berkata:
Nabi s. ‘a.w. berada di rumahnya pada suatu hari, kemudian Fatimah datang membawa periuk berisi bubur dan masuk ke rumah Rasul Allah s. ‘a.w., baginda s. ‘a.w. bersabda kepada Fãtimah: panggilkan suamimu dan kedua anakmu, kemudian datang ‘All, Hasan dan Husain. Mereka semua masuk, duduk dan makan, sedangkan nabi duduk di atas bangku dan di bawahnya ada selimut dari Khaibar. Berkata Umi Salamah, aku berada di bilik yang berhampiran dengan mereka, lalu Nabi Muhammad s. ‘a.w. mengambil selimut dan menutupi mereka itu lalu berdoa:
Ertinya:
“Sesungguhnya Allah menghendaki supaya dihapuskan daripada kamu ahi al-bayt kekotoran dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”23
KELIMA: HADIS AL-MAWADDAH
Hadith ini telah kita huraikan ketika mentafsirkan ayat almawaddah dan telah kami sebutkan sebahagian daripada perawi-perawi dan sanad-sanadnya, di sini kita sebutkan sekali lagi dan lebih berfaedah kiranya kita sebutkan sebahagian dariapda apa yang datang daripada Nabi s. ‘a.w mengenai kasih sayang dan kemesraan baginda kepada ahli baitnya iaitu berdasarkan kepada beberapa riwayat dan hadith-hadith lain.
Imam Ahmad al-Tabrani dan al-Hakim meriwayatkan daripada Ibn ‘Abbas r.d berkata, ketika turun ayat
Sahabat-sahabat bertanya: ya Rasulullah siapakah kerabat kamu yang wajib ke atas kami memberikan kasih sayang kepada mereka, Rasul Allah s. ‘a.w. menjawab; ‘All, Fãtimah dan kedua-dua anaknya.
Al-Bazzãr dan al-Tabrani meriwayatkan bahawa al-Hasan bin ‘All r.d. pada suatu hari berkhutbah:
22 Maksud sabda Nabi s. ‘a.w “dan engkau” maknanya kamu (Umi Salamah) tidak ke neraka. 23 Ibn al-Sibagh al-Maliki, al-Fusul al-Muhimmah Fi Ahwal al-A’immah, h, 25/26.
44
Ertinya:
“Barangsiapa yang kenal aku sesungguhnya telah mengenali aku dan sesiapa yang tidak kenal aku maka akulah al-Hasan bin Muhammad s. ‘a.w, aku anak orang yang membawa khabar gembira (al-basyir) dan aku juga anak kepada yang memberi amaran (an-nadhir), aku adalah anak Ahl al-Bayt yang Allah fardhukan kasih sayang kepada mereka ke atas tiap-tiap muslimin dan (Allah) menurunkan kepada mereka.”24
Ertinya:
“Katakanlah (wahai Muhammad) aku tidak meminta kepada kamu suatu upah melainkan kasih sayang kepada kaum keluarga dan siapa yang melakukan kebaikan akan kami tambahkan baginya kebaikan.” Oleh itu melakukan kebajikan-kebajikan ialah dengan berkasih mesra kepada keluarga nabi.
Al-Imam Abu Hasan al-Baghawi meriwayatkan dalam tafsirnya yang dihubungkan dengan sanadnya kepada Ibn ‘Abbas r.a. dia berkata: ketika Allah turunkan ayat:
Mereka bertanya: wahai Rasulullah, siapakah mereka yang Allah perintahkan kami untuk memberikan kasih sayangnya, Muhammad, s. ‘a.w menjawab: “Ali, Fatimah dan kedua-dua anaknya.”
Al-Sadi meriwayatkan daripada Abi Malik daripada Ibn ‘Abbas mengenai firman Allah Ta’ala:
Berkata (al-mawaddah) kasih sayang ialah kepada al-Muhammad s. ‘a.w.25
Hadis-hadis mengenai kemesraan dan kasih sayang serta ketaatan dan iltizam kepada Ahi al-Bayt tidak boleh dimuatkan kesemuanya dalam kitab ini, kami hanya piih sebahagian daripadanya dan semua hadis itu bagaikan matahari yang terang (terdapat) dalam kitab-kitab hadis dan riwayat.
Bagi tujuan menambah perbendaharaan pembaca dan memperkukuh pengetahuan tentang Ahl al-Bayt dan menguatkan hubungan antara pembaca dan Ahl al-Bayt, dan
24 al-Syabrawi al-Syafi’I, al-Ithaf bi Hubb al-Ashraf, h. 17-18. 25 Ibn al-Sibagh al-Maliki, al-Fusul al-Muhimmah Fi Ahwal al-A’immah, h.29
45 menjadikannya bergantung dan berjalan mengikut manhãj mereka serta mengharapkan syafaat mereka, kami sebutkan di sini sebahagian daripada hadis mengenai mereka.
Al-Tabrani menyebutkan dalam al-Awsat daripada Ibn Hajar berkata: perkataan terakhir yang diucapkan Rasulullah s.’a.w26 Ertinya, “jadikanlah pengganti sesudahku pada ahl al-baytku.”
Al-Tabrani menyebutkan dalam al-Aswat daripada Jabir bin Abdullah r.d. berkata; aku mendengar Rasulullah s. ‘a.w berkhutbah dengan sabdanya.”27
Ertinya:
“Wahai manusia sesiapa yang bencikan kami Ahl al-Bayt, Allah himpunkannya pada hari kiamat sebagai seorang Yahudi.”
Muslim, al-Tirmizi dan al-Nasa’i meriwayatkan daripada Zaid bin Arqam bahawa Rasulullah s. ‘a.w:
Ertinya:
“Aku ingatkan kamu mengenai Allah dalam ahli baitku.” Al-Khatib dalam tarikhnya menyebutkan daripada ‘Ali Radiya Allah ‘Anhu berkata, telah bersabda Rasulullah s. ‘a.w:28
Ertinya:
“Syafa’atku adalah kepada umatku yang mencintai ahli baitku.”29
26 al-Suyuti dalam Ihya al-Mayyit memetik daripada al-Tabrani melalui sanadnya dari Ibn Umar, h. 20; al-Haithami dalam Majma’ al-Zawa’id, j.9.h.163; Ibn Hajar dalam al-Sawa’iq al-Muhriqah, h.90. 27 al-Suyuti dalam Ihya al-Mayyit memetik daripada al-Tabrani dengan sanadnya daripada Jabir bin Abdullah, h.22; al-Haithami dalam Majmu al-Zawa’id, j.9.h.172
28 Muslim dalam Kitab Fada’il al-Sahabat, bab Fada’il Ali bin Abi Talib, j.4.h.1873; Ahmad bin Hanbal, Musnad, j.4h. 366-7; al-Muttaqi , Kanz al-Ummal, vol.1, h.158 dan vol.7, h. 102; al-Suyuti, al-Durr al-Manthur, j.6, h.7
29 al-Khatib, Tarikh, j.2.h.146; al-Muttaqi, Kanz al-Ummal, j.6.h.217; al-Suyuti, Ihya al-Mayyit bi Fada’il Ahl al-Bayt, h.37
46
Begitulah banyaknya riwayat dan hadith mengenai kasih sayang kepada ahl al-bayt dan kewajipan mematuhi mereka dan mengikut petunjuk mereka dan berpegang teguh kepada kecintaan terhadap mereka.
Beberapa riwayat lain, sebagaimana yang telah kami jelaskan bahawa hadith-hadith dan riwayat-riwayat yang datang dari Rasulullah mengenai ahl al-baitnya adalah banyak dan tidak dapat menyebutkannya satu persatu di sini. Ulama dan ahli al-hadith telah menyebutkannya dalam beberapa kitab atau fasal-fasal dalam kitab-kitab hadith atau menyebutkan dalam manaqib-manaqib yang tertentu dalam tafsir dan kitab-kitab riwayat, kita sebutkan di sini antaranya:
Ertinya:
“Kami adalah Ahl al-Bayt yang tidak boleh seorang pun menandingi kami.”30 Hadith ini menjelaskan kedudukan Ahl al-Bayt yang tinggi dan sikap mereka yang tidak ada tolok bandingnya supaya umat dapat mengetahui kedudukan mereka dan seterusnya berpegang teguh dan iltizam dengan metodologi mereka sereta untuk membandingkan mereka dengan orang lain.
Dalam hadith yang lain, Rasulullah s. ‘a.w menceritakan ahli baitnya dengan sabdanya:
Ertinya:
“Aku adalah Ahl al-Bayt yang telah Allah pilihkan akhirat bagi kami mengatasi dunia dan bahawa ahli baitku akan menghadapi egoism, kesempitan dan dibuang daripada negerinya, sesudahku sehinggalah datang satu kaum dari sini (menudingkan jarinya ke arah timur) yang mempunyai bendera-bendera hitam lalu mereka meminta hak tetapi tidak diberikannya, mereka berperang lalu dapat kemenangan, mereka diberi apa-apa sahaja yang dikehendaki tetapi mereka tidak menerimanya sehingga diserahkan kepada seorang daripada keluargaku yang memenuhkan (dunia) dengan keadilan sepertimana
30 al-Tabari, Zakhir al-Uqba, h.17.
47 penuhnya kezaliman (sebelumnya), dan barangsiapa yang menemui (masa itu) maka hendaklah mereka temui walaupun dengan merangkak atas salji.”31
Al-Dailami meriwayatkan daripada Abi Sa’id r. ‘a dia berkata:
Telah bersabda Rasulullah s. ‘a.w.
Ertinya:
“Bersangatan kemurkaan Allah kepada orang yang menyakiti aku mengenai keluargaku.”
Daripada ‘Ali r.d berkata: Telah bersabda Rasulullah s. ‘a.w.32
Ertinya:
“Didiklah anak-anak kamu dalam tiga perkara: kasihkan nabi kamu, kasihkan ahli baitnya dan membaca al-Qur’an. Sesungguhnya menanggung al-Qur’an itu mendapat perlindungan Allah di hari-hari yang tidak ada perlindungan melainkan perlindungan Allah bersamasama dengan para nabi dan orang-orang pilihannya.”33
A1-Tabrãni meriwayatkan daripada Ibn ‘Abbãs berkata: bersabda Rasulullah s. a.w:
Ertinya:
“Tidak tergelincir kedua kaki seorang sehinggalah ditanya mengenai empat perkara iaitu, umurnya ke mana dihabiskan, mengenai tubuh badannya ke mana dikerjakan, hartanya ke mana dibelanjakan dan dari mana diperolehi dan mengenai kasih sayang kami kepada Ahi a!Bayt.”34
Dalam satu riwayat, Rasulullah s. ‘a.w. menunjukkan umatnya kepada ahli baitnya dengan menjelaskan maqam mereka dan mengarahkan mereka supaya menumpukm pandangan kepada mereka, apabila fitnah bertambah-tambah dan pendapat bertentangan.
31 Ibid. 32 Ibid. 33 al-Suyuti, Ihya’ al-Mayyit, hlm. 40-41, al-Dailami mengeluarkan daripada ‘Ali seperti disebutkan oleh al-Muttaqi dalam Kanz al-‘Ummal, Jilid, 8, hlm. 278 dan disebutkan oleh Ibn Hajar dalam Sawa’iq al-Muhriqah, hlm. 103. 34 al-Suyuti, Ihya al-Mayyit, hlm .39 dipetik daripada al-Tabrani dengan sanad daripada Ibn Abbas, al-Muttaqi menyebutkan dalam Kanz al-Ummal, Jilid, 8. hlm. 212, dipetik oleh al-Tabrani, al-Haithami, al-Majma’ al-Zawa’id, Jilid 10, hlm. 346, diriwayatkan oleh al-Tabrani dalam al-Kanz wa al-Awsat.
48 Ahi al-Bayt disebut berdampingan dengan kitab Allah kerana mereka itu adalah para ulama yang mahir tentang kandungan al-Qur’an dan yang mengetahui hakikat dan kandungannya.
Al-Tabrani mcngeluarkan daripada al-Muttaãlib bin Abdullah bin Hantab daripada bapanya, ia berkata; Rasullullah s. ‘a.w. telah mula berkhutbah di Juhfah dengan sabdanya: Tidakkah aku lebih muli3 daripada din kamu sendiri, mereka menjawab, betul ya Rasulullab, make sesungguhnya aku meminta dua perkara; mengenai a!Qur’an dan ahli baitku.35
KEMBALI KE KANDUNGAN BUKU >
35 al-Suyuti, Ihya al-Mayyit, mengutip daripada al-Tabrani dengan sanadnya dari Abd al-Muttalib bin Abdullah, hlm. 38; al-Haithami dalam Majma’ al-Zawa’id, Jilid 5, hlm. 195; Ibn al-Athir dalam Usd al-Ghabah, Jilid 3, hlm. 37; Ibn Nu’aim, Hilyah al-Awliya’; Jilid 9, hlm. 64 dengan sanadnya daripada Ali bin Abi Talib.

Apa yang dimaksud dengan Hadits : مَنْ كُنْتُ مَوْلاَهُ فَعَلِىٌّ مَوْلاَهُ


( الترمذى  والحاكم )
“ Man Kuntu Maulahu Fa Aliyyun Maulahu”

Adapun yang dimaksud dari hadits :   “Man Kuntu Maulahu       Fa Aliyyun Maulahu”,maka dalam kitab-kitab sejarah yang ditulis oleh ulama-ulama Ahlussunnah diterangkan sebagai berikut :
Pada tahun 10 H, Rasulullah SAW beserta para Sahabat berangkat ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji dan haji tersebut kemudian dikenal dengan Haji Wada’.
Bertepatan dengan itu, rombongan Muslimin yang dikirim oleh Rasulullah SAW ke Yaman sudah meninggalkan Yaman, mereka menuju Mekkah, untuk bergabung dengan Rasulullah SAW. Rombongan tersebut dipimpin oleh Imam Ali bin Abi Thalib kw.
Begitu rombongan sudah mendekati tempat dimana Rasulullah SAW berada, maka Imam Ali kw segera meninggalkan rombongannya guna bertemu dan melapor kepada Rasulullah SAW, dan sebagai wakilnya adalah Sahabat Buraidah ra.
Sepeninggal Imam Ali kw, Buraidah ra membagi-bagikan pakaian hasil Pampasan perang yang masih tersimpan dalam tempatnya, dengan maksud agar rombongan jika masuk kota Mekah ( bertemu dengan yang lain ) kelihatan rapi dan baik.
        Namun begitu Imam Ali kw kembali menghampiri rombongannya beliau terkejut dan marah, serta memerintahkan agar pakaian-pakaian tersebut dilepaskan dan dikembalikan ke tempatnya. Hal mana karena Imam Ali kw berpendapat, bahwa yang berhak membagi pampasan perang adalah Rasulullah SAW.
   Tindakan Imam Ali kw tersebut membuat Buraidah ra dan anak buahnya kecewa, sehingga terjadilah perselisihan pendapat.
        Selanjutnya begitu rombongan sudah sampai ditempat Rasulullah SAW, Buraidah ra segera menghadap Rasulullah SAW dan menceritakan mengenai kejadian yang dialaminya bersama rombongan dari tindakan Imam Ali kw. Bahkan dari kesalnya, saat itu Buraidah ra sampai menjelek-jelekkan Imam Ali kw di depan Rasulullah SAW.
Mendengar laporan yang isinya men’jelek jelekkan Imam Ali kw tersebut, Rasulullah SAW agak berubah wajahnya, karena beliau tahu bahwa tindakan Imam Ali kw tersebut benar.
Kemudian Rasulullah Saw bersabda kepada Buraidah ra sebagai berikut :
يَابُرَيْدَة أَلَسْتُ أَوْلَى بِالمُؤمِنِين مِنْ أَنْفُسِهِمْ
“ Hai Buraidah, apakah saya tidak lebih utama untuk diikuti dan dicintai oleh Mukminin daripada diri mereka sendiri”.
       Maka Buraidah menjawab :
بَلَى يَا رَسُول الله
“ Benar Yaa Rasulullah”.
Kemudian Rasulullah SAW bersabda :
مَنْ كُنْتُ مَوْلاَهُ فَعَلِىٌّ مَوْلاَهُ.    (رواه الترمذى والحاكم )
“ Barangsiapa menganggap aku sebagai pemimpinnya, maka terimalah Ali sebagai pemimpin”.
        Yang dimaksud oleh Hadits tersebut adalah, apabila Muslimin menganggap Rasulullah SAW sebagai pemimpin mereka, maka Imam Ali kw harus diterima sebagai pemimpin mereka, sebab yang mengangkat Imam Ali kw sebagai pemimpin rombongan ke Yaman itu Rasulullah SAW. Karena itu dia harus ditaati, dicintai dan dibantu serta dipatuhi semua perintahnya.
  Demikian maksud dari Hadits :Man Kuntu Maulahu Fa Aliyyun Maulahu”.Sebagaimana yang tertera dalam kitab-kitab yang ditulis oleh ulama-ulama Ahlussunnah Waljamaah.
 ( baca kitab Al Bidayatul Hidayah oleh Ibnu Katsir ).
 Selanjutnya, oleh karena perselisihan tersebut, tidak hanya terjadi antara Imam Ali kw dengan Buraidah ra saja, tapi dengan seluruh rombonganya, dimana orang-orang tersebut menjelek-jelekkan Imam Ali kw dengan kata-kata tidak baik, yang berakibat dapat menjatuhkan nama baik Imam Ali kw, bahkan perselisihan tersebut  didengar oleh orang-orang yang tidak ikut dalam rombongan ke Yaman itu, maka setelah Rasulullah SAW selesai melaksanakan ibadah haji, disaat Rasulullah Saw dan Muslimin sampai di satu tempat yang bernama Ghodir Khum, Rasulullah SAW berkhotbah, dimana diantaranya beliau mengulangi lagi kata-kata  yang telah disampaikan kepada Buraidah ra tersebut, yaitu “Man Kuntu Maulahu Fa Aliyyun Maulahu”
Itulah sebabnya Hadits tersebut dikenal sebagai Hadits Ghodir Khum. Karena waktu disampaikan di Ghodir Khum itu, disaksikan oleh ribuan Sahabat.
Jadi sekali lagi, bahwa hadits : “Man Kuntu Maulahu Fa Aliyyun Maulahu”. Itu tidak ada hubungannya dengan penunjukan Imam Ali kw sebagai Khalifah sesudah Rasulullah SAW wafat. Tapi sebagai pemimpin rombongan ke Yaman yang harus dicintai dan ditaati semua perintahnya.
        Sebenarnya apabila hadits tersebut akan diartikan sebagaimana orang-orang Syi’ah mengartikan hadits tersebut, yaitu dianggap sebagai pengangkatan Imam Ali kw sebagai Khalifah, maka faham yang demikian itu akan membawa konsekwensi dan resiko yang sangat besar. Sebab sangsi bagi orang-orang yang menolak atau meninggalkan Nash Rasulullah SAW, apalagi menghianati Rasulullah SAW adalah Kafir.
        Dengan demikian, Sayyidina Abu Bakar ra akan dihukum kafir karena melanggar dan meninggalkan Nash Rasulullah SAW, demikian pula para Sahabat yang membai’at Khalifah Abu Bakar ra, Khalifah Umar ra dan Khalifah Ustman ra mereka juga akan dihukum Kafir, sebab tidak melaksanakan dan melanggar Nash Rasulullah SAW. Bahkan Imam Ali kw sendiri akan terkena sangsi kufur tersebut, sebab dia berarti melanggar dan menolak bahkan menghianati Nash Rasulullah SAW tersebut.
      ( Khasya, tidak mungkin mereka berbuat yang demikian itu )

Itulah resiko dan konsekwensi bila hadits “Man Kuntu Maulahu Fa Aliyyun Maulahu”,diartikan sebagai penunjukan Imam Ali kw sebagai Khalifah pengganti Rasulullah SAW.

Semoga kita diselamatkan oleh Allah SWT dari aqidah Syi’ah  Imamiyyah Itsna Asyariyyah yang sesat dan menyesatkan. Amin.

      Naudzu Billah Min Tilka Al aqoid Al Fasidah.

     Demikian maksud dari Hadist  Man Kuntu Maulahu Fa Aliyyun Maulahu yang tertera dalam buku-buku sejarah.

Gerakan Imam Husein, Revolusi Cinta Untuk Perubahan Global!


Tragedi kesyahidan Imam Husein as di padang Karbala setiap tahun diperingati jutaan manusia di berbagai penjuru dunia. Peristiwa yang telah terjadi 1371 tahun itu kian hari terus membaru dan efeknya semakin mendalam.

Imam Husain a.s.menolak berbaiat kepada Yazid yang telah mengangkat diri sebagai khalifah umat Islam. Imam Husain bersama 72 sahabat dan anggota keluarganya meninggalkan Madinah menuju kota Kufah, Irak untuk memperjuangkan kebenaran. Imam Husain dan para pembela setianya gugur syahid pada 10 Muharam 61H dalam pertempuran yang sangat tidak seimbang di padang Karbala.

Menurut Muhammad Anis, tidak ada satu pun tragedi di dunia ini meskipun telah terjadi berabad-abad lalu, yang begitu berpengaruh dan membekas di benak manusia seakan baru saja terjadi, kecuali tragedi kesyahidan Imam Husein di Karbala.

"Banyak pelajaran yang bisa dipetik dari peristiwa Asyura dan pengorbanan Imam Husein beserta pengikutnya terutama bagi perbaikan Negeri tercinta Indonesia,"kata salah seorang Intelektual muda Indonesia ini kepada Radio Melayu IRIB.

"Imam Husein bangkit untuk menegakan keadilan dan melawan penyimpangan intelektual serta ideologi,"tegas Dosen ICAS Jakarta.

"Gerakan Husein adalah model pendidikan, pembentukan manusia dan rekonstruksi masyarakat,"tutur dosen Madina Ilmu Jakarta ini.

Kandidat doktor filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ini menyebut Gerakan Imam Husein sebagai revolusi cinta untuk mengembalikan manusia menuju fitrah ilahinya.

Simak selengkapnya, kontektualisasi gerakan Imam Husein dan sekolah Karbala dalam pandangan Muhammad Anis berikut ini:

Selasa, 11 Januari 2011

Ghadir, Hari Kesempurnaan Agama



Ghadir, Hari Kesempurnaan Agama
Setiap bangsa dan umat pasti memiliki hari-hari khusus yang diagungkan dan dihormati, dalam tradisi maupun ajaran yang mereka anut. Lewat peringatan hari-hari besar itulah mereka mengikat kembali janji setia atau mengenang sebuah peristiwa yang sangat penting. Tanggal 18 Dzulhijjah tahun 10 hijriyah, sepulangnya dari haji Wada' Nabi Saw di hadapan puluhan ribu sahabatnya, mengumumkan bahwa sepeninggal beliau Ali bin Abi Thalib adalah penerus beliau untuk memimpin umat. Pengumuman itu diikuti oleh suka cita mendalam dan wajah Nabi Saw nampak berseri-seri. Nabi, bahkan meminta para sahabat untuk memberikan ucapan selamat kepada beliau. Tak ada ungkapan seperti itu yang keluar dari lisan Nabi pada momen-momen yang lain bahkan setelah kemenangan perang yang menentukan sekalipun. Suasana kegembiraan memenuhi gurun yang dikenal dengan nama Ghadir Khum, tempat terjadinya peristiwa tersebut.

Para sahabat satu persatu bergegas menyampaikan ucapan selamat kepada Ali dan membaiatnya. Hassan bin Tsabit, yang dikenal dengan gelar Penyair Nabi, meminta izin dari Sang Rasul untuk membacakan beberapa bait syairnya tentang peristiwa tanggal 18 Dzulhijjah itu. Tak hanya Hassan, Muslim bin Ubadah al-Anshari juga membacakan bait-bait syairnya. Sejak saat itu, tanggal 18 Dzulhijjah diperingati sebagai hari raya Ghadir Khum. Puji ke hadirat Allah karena telah menjadikan kita sebagai orang-orang yang menerima wilayah kepemimpinan Ali bin Abi Thalib (as).


Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Imam Jakfar Shadiq (as) menyampaikan salam kepada para sahabat dan pengikutnya serta memohon kepada Allah Swt untuk melimpahkan rahmatNya kepada setiap hamba Allah yang berkumpul dengan orang-orang lain di hari Ghadir untuk membincangkan sirah keteladanan Ahlul Bait (as).


Eid yang biasanya diartikan dengan makna hari raya sebenarnya mengandung arti kembali. Di hari pertama bulan Syawal, setelah merampungkan puasa dan ibadah-ibadah lainnya, umat Islam merayakan hari itu dan menyebutnya sebagai Eidul Fithr, yang berarti kembali ke fitrah. Peristiwa Ghadir Khum juga mengandung makna kembalinya kehidupan kepada umat Islam. Sebab, dengan bertambahnya usia Rasulullah, muncul kekhawatiran akan masa depan Islam dan kaum muslimin. Namun kekhawatiran itu sirna setelah Nabi mengumumkan siapakah yang bakal menjadi pengganti beliau. Pengumuman itu terjadi pada hari Ghadir. Karena itu, sudah semestinya hari ini dirayakan sebagai hari besar bagi umat Islam. Imam Hasan (as), cucu Nabi Saw ketika berada di Kufah merayakan peringatan hari raya Ghadir setiap tahun dengan membuka jamuan umum. Imam Ali (as) dan keluarga serta para pengikut setia beliau ikut serta dalam jamuan itu.


Sejak menjejakkan kaki di bumi ini, manusia yang memikul tanggung jawab bernama taklif, memerlukan bimbingan dari Allah untuk bisa selamat dalam mengarungi kehidupan. Adam sebagai manusia pertama mendapat mandat ilahi untuk memimpin dan membimbing umat manusia. Satu persatu nabi utusan Allah muncul ke tengah umat manusia sampai akhirnya Allah Swt mengutus NabiNya yang terakhir dengan risalah yang sempurna dan relevan sepanjang masa, Baginda Nabi Muhammad Saw.


Setelah wafatnya Rasulullah, risalah kenabian terputus dan tidak ada lagi wahyu yang turun. Namun itu tidak berarti bahwa umat manusia sudah tidak lagi memerlukan figur pemimpin dan pembawa hidayah. Sebelum wafat, Nabi Saw sudah mengumumkan siapa yang bakal menjadi pengganti beliau sebagai pemimpin umat dan pembimbing mereka ke jalan kebenaran. Ali bin Abi Thalib dalam sebuah prosesi istimewa yang terjadi tanggal18 Dzulhijjah tahun 10 hijriyah resmi ditetapkan sebagai Imam dan maula bagi umat Islam. Ali (as) adalah imam pertama dari silsilah 12 imam yang telah disebutkan Nabi dalam sejumlah hadis. Mereka itulah yang menjadi figur-figur pemimpin bagi umat manusia setelah berakhirnya masa kenabian.


Hari raya Ghadir adalah hari raya yang mengagungkan Imam Ali (as). Beliau adalah figur insan suci yang sejak awal risalah Islam selalu menyertai Nabi Saw dalam suka dan duka. Dalam satu peperangan, ketika pasukan Islam terkepung dari semua arah dan sebagian besar sahabat Nabi Saw berlari menyelamatkan diri meninggalkan Rasulullah Saw seorang diri. Keringat nampak mengucur membasahi dahi dan kening Rasul di tengah gelora api pertempuran.


Mendadak mata Nabi tertuju kepada sosok pemuda yang dengan gagah berani menerjang musuh dan sesekali kembali merapatkan diri ke arah Nabi. Dialah Ali bin Abi Thalib (as). 
Nabi menghela nafas lega melihat Ali dan bersabda, "Wahai Ali, mengapa engkau tidak berlari bersama orang-orang itu?" Ali menjawab, "Ya Rasulullah, apakah setelah Islam dan mengimanimu, aku mesti menjadi kafir? Aku adalah pengikutmu." Jawaban Ali yang mantap, pengorbanannya yang tulus dan keksatriaannya yang tanpa tanding dipuji oleh Nabi. Ali bertempur dengan gigih dan menangkis semua serangan kaum kafir yang terarah kepada Rasulullah. Pasukan kafir memang mengerahkan segenap tenaga dengan memanfaatkan kondisi yang ada untuk membunuh Nabi. Tetapi kepiawaian dan keberanian Ali yang tanpa tanding menggagalkan usaha mereka. Dalam keadaan seperti itu, malaikat Jibril datang dan berkata, "Hai Muhammad! Inilah pengorbanan sejati." Nabi dengan bangga bersabda, "Ali dariku dan aku darinya." Jibrilpun menjawab, "Dan aku dari kalian berdua."


18 Dzulhijjah, sepulang dari Haji Wada', Rasulullah memerintahkan rombongan kaum muslimin dari berbagai negeri untuk berhenti di sebuah padang sahara yang dikenal dengan nama Ghadir Khum. Ada satu pesan sangat penting yang ingin disampaikan Nabi Saw. Setelah semua berkumpul dan terik matahari terasa menyengat, Nabi berdiri di atas gundukan yang sengaja dibuat sebagai mimbar darurat oleh para sahabat. Dalam sabdanya yang bersejarah, dengan suara lantang berkata, "Siapakah yang lebih layak untuk memimpin setiap insan mukmin dan mengelola urusannya?"


Para sahabat menjawab, "Allah dan Rasulnya lebih mengetahui." Beliau bertanya lagi, "Bukankah aku yang lebih layak atas diri kaum mukmin dibanding diri mereka sendiri? Sahabat menjawab, "Benar ya Rasulullah." Beliau bersabda, "Wahai umatku! Tak lama lagi aku akan segera memenuhi panggilan Tuhanku. Ketahuilah bahwa aku meninggalkan untuk kalian dua pusaka berharga, yaitu kitabullah dan keluargaku, Ahlu Baitku. Jangan kalian mendahului mereka dan jangan pula menjauh." Nabi Saw lantas mengangkat tangan Ali bin Abi Thalib (as) dan bersabda, "Wahai umatku! Barang siapa menjadikanku sebagai maula dan pemimpinnya maka Ali adalah maula dan pemimpinnya juga." Beliau kemudian mengulang doa ini sebanyak tiga kali, "Ya Allah Pimpinlah orang yang menjadikan Ali pemimpinnya dan musuhilah yang memusuhinya."


Peristiwa Ghadir Khum bukan peristiwa pertama yang menunjukkan pengukuhan Nabi Saw akan keutamaan Ali. Tapi peristiwa ini lebih menunjuk kepada peresmiannya di hadapan lautan manusia yang ditaksir berjumlah 120 ribu orang. Saat itulah, Allah Swt menurunkan wahyuNya yang menurut para ulama adalah wahyu al-Qur'an terakhir, "Hari ini telah Aku sempurnakan bagimu agamamu dan aku sempurnakan bagimu nikmatKu dan Aku merelakan Islam sebagai agama untukmu." (Q.S. al-Maidah: 3)


Nabi Saw di Ghadir Khum menyatakan bahwa telah melaksanakan apa yang telah dibebankan kepada beliau sehingga sempurnalah hujjah atas umat. Beliau juga memerintahkan mereka yang hadir untuk menyampaikan peristiwa yang mereka saksikan di hari itu kepada mereka yang tidak hadir. Hal itu menunjukkan bahwa sabda Nabi Saw di Ghadir bukan hanya ditujukan kepada umat Islam di zaman itu tetapi juga kita yang hidup 14 abad setelah Nabi. Ghadir bukan sekedar peristiwa sejarah tetapi sebuah keyakinan yang mendalam dan lahir dari Islam itu sendiri.


Ali adalah figur yang paling layak menjadi penerus Nabi Saw. Seluruh kemuliaan dan keutamaan Ali mengungguli semua orang. Ilmunya yang luas bukan rahasia bagi siapapun. Karena itu pantas jika Nabi menyebutnya sebagai pintu kota ilmu. Jiwanya yang suci menjadikannya manusia yang jauh dari semua dosa dan segala bentuk ketertarikan kepada hawa nafsu dan gemerlap dunia. Sampai-sampai salah seorang sahabat dekatnya menceritakan bahwa di mata Ali, nilai kekuasaan tak lebih dari tali sepatunya yang sudah kumal.


Ghadir membawa pesan bahwa kekuasaan dan kepemimpinan seharusnya berada di tangan manusia-manusia saleh yang punya kecakapan dalam memimpin dan mengatur masyarakat. Ketika Allah lewat RasulNya menobatkan Ali sebagai pemimpin atas umat, tentunya yang mengemuka pertama kali adalah karakter figur itu yang menjadikannya layak menerima kedudukan tersebut. Jika Ali adalah insan yang saleh, taat, pandai, cakap memimpin, berakhlak baik, terpercaya, zuhud, dan jujur, maka dalam memilih pemimpin bagi sebuah masyarakat kriteria-kriteria itulah yang harus diperhatikan, sehingga keadilan dan kesejahteraan bisa terwujud, dan kaum zalim tak lagi mendapat tempat.

Nasehat-Nasehat

1.Sedapat-dapatnya berpuasalah setiap hari Senin dan Kamis. 2.Shalat lima waktu tepat pada waktunya, dan berusahalah shalat Tahajjud. 3.Kurangilah waktu tidur, dan perbanyaklah membaca Al-Qur’an. 4.Perhatikan dan tepatilah sungguh-sungguh janji Anda. 5.Berinfaklah kepada fakir-miskin. 6.Hindarilah tempat-tempat maksiat. 7.Hindarilah tempat-tempat pesta pora, dan janganlah mengadakannya. 8.Berpakaianlah secara sederhana. 9.Janganlah banyak bicara dan seringlah berdo’a, khususnya hari Selasa. 10.Berolahragalah (senam, marathon, mendaki gunung dan lain-lain). 11.Banyak-banyaklah menelaah berbagai buku (agama, sosial, politik, sains, falsafah, sejarah, sastra dan lain-lain). 12.Pelajarilah ilmu-ilmu tehnik yang dibutuhkan negara Islam. 13.Pelajarilah ilmu Tajwid dan Bahasa Arab, serta perdalamlah. 14.Lupakan pekerjaan-pekerjaan baik Anda, dan ingatlah dosa-dosa Anda yang lalu. 15.Pandanglah fakir-miskin dari segi material, dan ulama dari segi spiritual. 16.Ikuti perkembangan umat Islam.